Suara
gemuruh dari TV yang telah habis menayangkan programnya membuatku
terjaga dari tidur di sofa. ku lirik jam di dinding telah menunjukkan
hampir puku l 2 dini hari. ku tarik nafas panjang untuk menghilangkan
rasa sesak di dada, 2 bulan sudah berlalu sejak kepergiaan istriku .
ku padamkan lampu-lampu yang tidak perlu lalu perlahan ku buka pintu
kamar anak-anakku tercinta, nampak mereka sudah tertidur dan ku lihat
Lily juga tertidur di samping anak-anakku. Perlahan ku bangunkan dia,
“Ly.., Ly..,” panggilku perlahan untuk tidak membuatnya terkejut.
“Hghh..,” sahutnya perlahan seraya membuka matanya yang masih mengantuk.
“Pindah ke kamar depan dech, suamimu mungkin tidak menjemput malam ini,” ujarku berbisik.
“Oh..,” sahutnya sejurus kemudian dan keluar dari balik selimut.
Tampak Lily telah mengenakan daster yang cuku p tipis sehingga nampak
leku kan tubuhnya yang seksi, belahan buah dadanya juga putingnya oleh
karena dia tidak menggunakan bra, dan celana dalamnya berwarna pink
dengan gambar doraemon di bagian pantatnya, yang sempat ku lihat sebelum
ia menghilang di balik pintu. ku kecup pipi kedua anakku sendiri
sebelum ku rapatkan kembali pintunya dan pergi ke kamarku sendiri untuk
beristirahat dan kerja kembali esok hari karena cuku p banyak juga
pekerjaan yang tertinggal selama ini.
Subuh ku terbangun oleh deringan jam meja yang telah ku persiapkan malam
sebelumnya, mandi pagi dengan air dingin membuatku segar dan siap untuk
bekerja.
“Bagaimana? Sudah kau pikirkan?” tanya suara lembut itu yang sangat ku kenal.
“Bu..,” sahut Lily putus di tengah jalan
“Yach.. Mas Elmo masih muda, mungkin suatu saat dia akan mencari
pengganti Linda almarhum kakakmu itu, kalau sudah begitu apakah Ibu
masih diijinkan tinggal di sini?” keluh Ibu sejurus kemudian
“Tapi Bu,” Lily berusaha membantah perkataan Ibu
“Yach.. Ibu pikir daripada kamu di sana di sia-sia lebih baik lepaskan
Mas Indramu itu, mungkin Mas Elmo akan ijinkan Ibu tinggal di sini, tapi
apakah calonnya akan mengijinkan juga?” masih tetap dengan suara lembut
yang membujuk.
“Bagaimana dengan Ricky Bu?” tanya Lily lirih.
“Anakmu itu sudah cacat, kamu ya harus berpikir untuk kebaikannya bukan
untuk dirimu sendiri, Ibu rasa mungkin dia akan lebih berbahagia
bilamana di tempatkan di panti asuhan oleh karena bisa bermain dengan
teman-teman senasibnya. Justru dia akan menderita kalau kamu paksa untuk
bergaul dengan anak-anak normal lainnya,” saran Ibu melanjutkan
Hening kemudian hanya denting piring yang beradu dengan sendok yang
sedang dipersiapkan oleh Ibu mertuaku dan Lily putri bungsunya.
“Seandainya kau bisa memiliki Mas Elmo, kita masih bisa tinggal di sini
bila tidak Ibu tak tahu kita harus kemana lagi?” keluh Ibu.
“Bu..,” hanya itu ucapan Lily terputus ketika tiba-tiba..
“Good morning, Pa,” teriak Shanti anakku yang paling kecil dari atas
tangga menyapaku yang sedang terdiam di tangga mendengarkan percakapan
tadi yang berasal dari ruang makan.
“Good morning honey,” sapaku pula seraya melanjutkan langkahku menuruni tangga.
“Hi.. Shanti,” sapa Lily seraya menunjukkan wajahnya dari pintu ruang makan.
“Hi.. aku mandinya nanti yach,” ujarnya seraya kembali ke kamarnya terburu-buru.
“Eehh.. kakak mana?” Lily bertanya dengan nada yang cuku p keras.
“Masih bobo..,” terdengar balasan dari balik pintu kamar tidur.
“Pagi Mas,” sapa Lily sambil tersenyum manis.
“Pagi juga,”
“Pagi Bu,” sapaku melanjutkan setelah bertemu dengan Ibu di ruang makan itu.
“Pagi,.. ini nasi goreng buatan Lyly nich,” promosi Ibu melanjutkan.
“Wah.. terima kasih nich sudah merepotkan,” ujarku sedikit berbasa basi.
“Sudah buruan makan.. nanti keburu dingin jadi nggak enak, biar Ibu bangunkan anak-anak dulu,” tukas Ibu.
Dengan cekatan Lily melayaniku dengan mengambilkan nasi goreng tersebut
sementara aku sendiri menyeruput secangkir teh manis sebagaimana
kebiasaanku sejak dulu. Di kantor pikiranku juga masih berkutat dengan
pembicaraan Ibu tadi pagi, sehingga sebenarnya tidak seluruh pikiranku
terkonsentrasi untuk pekerjaan. Masih terngiang-ngiang kemungkinan aku
untuk memperistri Lily.. mungkinkah?
Sore hari saat pulang kerja..
Sementara Lily berlutut untuk mencapai rak lemari yang paling bawah,
sedangkan aku berdiri di samping sambil memperhatikannya. Tanpa sadar
pandanganku tertuju pada buah dadanya yang nampak indah dipandang dari
atas tersebut. Nampak jelas lekukan buah dadanya oleh karena dia
menggunakan kaos yang longgar sehingga bagian depannya agak terbuka saat
dia dalam posisi yang sedikit membungkuk tersebut. Melihat pemandangan
yang demikian mempesona, penisku terus saja menegang sehingga
memperlihatkan tonjolannya di balik handuk yang kukenakan tersebut.
“Nach ini kaos..,” suaranya terputus di tengah jalan ketika dalam posisi
berlutut seperti itu menyerahkan kaos yang kuminta padaku oleh karena
pandangannya terpaku pada batanganku yang mengeras di balik handuk.
Kusadari waktu 2 bulan telah berlalu tanpa hubungan sex tentunya sulit
bagiku, namun tertutup oleh kesibukanku. Sedangkan baginya.. dimana Mas
Indra, suaminya, yang sejak semalam berjanji untuk menjemputnya, setelah
selama ini Lily membantu rumah tanggaku yang porak poranda sejak
ditinggal kepergian almarhum Linda, istriku yang juga kakak dari Lily,
mengurus anak-anakku, rumah tangga dan sebagainya.
Lily terdiam dan tertunduk malu yang bagiku itu adalah isyarat bahwa dia
tidak menolakku, sehingga kuberanikan diriku untuk membuka handuk
tersebut sehingga sekarang tersembullah batangku yang telah tegak
menantang dengan tubuh telanjang seperti ini, dimana masih ada tetesan
air yang masih belum mengering, kuyakin menambah sexy penampilanku malam
itu.
Perlahan kubangunkan Lily dan segera kukecup keningnya perlahan turun ke
arah pipi dan menelusuri lehernya. Dengusan nafas yang memburu membuat
adrenalinku terus meningkat, kuusap lembut pundaknya, telinganya,
disertai dengan kecupan hangat yang kulaku kan dengan sepenuh hati.
“Mas El.. jangan,” pintanya sesaat sebelum kucoba untuk melepaskan kaosnya.
“Lily,” gumamku dengan pandangan mata memohon sehingga kuyakin sulit
baginya untuk menolakku terlebih deru birahinya juga terus merayap
keatas ubun-ubun.
Kukulum putingnya yang masih kecil bak anak gadis, membuatku gemas.
“Mas.. ergh,” rintihnya perlahan.
Belaian hangat jariku terus mengusap seluruh permukaan kulitnya yang
putih mulus halus terawat disertai dengan jilatan dan pijatan ringan.
Perlahan kudorong Lily sehingga rebah di kasurku.
“Mas janji jangan dimasukkan yach.., aku masih milik Indra,” rintihnya
kembali ketika kucoba mencopot celana pendeknya. Ternyata Lily tidak
mengenakan celana dalam di balik celana pendeknya tersebut sehingga
segera nampak rerumputan hitam dengan panjang yang seragam dan terawat
dengan rapih.
“Iya aku janji,” sahutku tanpa berhenti melepaskan celana pendeknya tersebut.
Harum bau tubuhnya terus memompa birahiku namun perlakuanku tetap saja
lembut dan tidak terburu -buru untuk membawa Lily menikmati belaian
asmara ini. Jilatan mandi kucing yang kulancarkan ini membuat Lily
semakin terlena dan pasrah. Jilatan demi jilatan yang menyusuri setiap
inci permukaan kulit dadanya, turun ke lembah buah dadanya, terus turun
menelurusi garis tengah untuk mencapai kubangan di tengah pusaran perut,
membuat otot perutnya tertarik tertahan menahan geli nikmat yang tidak
terkira.
Kulewatkan bagian padang ilalang hitam di sana, namun kumulai dari
lipatan paha bagian dalam kanan dan kiri yang terus menuruni jenjang
kakinya dari bagian dalam hingga mencapai punggung kakinya dan berakhir
dengan teriakan tertahan yang disertai hentakan kakinya, “Akhh..”
Kubalikan tubuhnya dan kini jilatannya merayap naik dari bagian tumitnya
menelusuri betis indahnya sedikit ke bagian dalam, tidak kupaksa untuk
membuka lipatannya namun terus naik hingga ke punggung dan berakhir di
sekitar tengkuknya yang mulus, disertai dengan bulu kuduknya yang telah
berdiri membuatku semakin gemas, sehingga gigitan sedikit keras
kuberikan padanya yang menambah sensasi nikmat, disertai dengan remasan
jemari lentiknya pada bantal yang sempat diraihnya untuk berbagi
kenikmatan.
Puas bermain di punggungnya kembali kubalikkan tubuhnya, sesaat mata
kami sempat beradu pandang, terlihat sayu tertutup perlahan dan
menggodaku untuk mengecup lembut bibirnya. Kulumanku mendapat balasan
yang malu-malu dan segera kuterobos dengan lidahku untuk mengait
lidahnya sehingga pagutan lidahku bagaikan aliran listrik untuk
mencetuskan butiran keringat halus bagaikan tetesan embun di dahinya.
Perlahan namun pasti sambil berpagutan tersebut kunaiki tubuh mungilnya
dan Lily sempat melirik ke kaca yang ada di lemari pakaian dan jelas
nampak tubuh mungilnya sekarang berada dibawah tubuhku yang tinggi
besar, sensasi tersendiri melihat tubuhku menindih tubuh mungilnya
dimana baru kali ini dialaminya bahwa seorang pria yang bukan suaminya
tengah menindihnya dalam keadaan tubuh yang bugil, telanjang bulat.
Batanganku yang telah mengeras tepat berada di atas perutnya dan ketika
seluruh berat tubuhku telah menindihnya jelas sekali kurasakan getaran
tubuhnya laksana menggigil akibat menahan birahi. Kulumanku belum
kulepaskan dan lidahku terus bermain dengan lidahnya dengan respon yang
semakin menggila disertai lenguhan birahi.
Ketika kulepaskan pagutan liar itu, segera ku buka lebar pahanya
sehingga jelas terlihat ilalang hitam di bagian bawah telah lepek dan
tanpa rasa malu-malu lagi Lily jelas membentangkan kakinya lebar-lebar,
memberiku jalan untuk menerobos masuk. Namun tak kulakukan itu,
sebaliknya perlahan kubuka lipatan bibirnya sehingga nampak celah
memanjang bagaikan irisan roti dan diikuti dengan mengalirnya secara
perlahan cairan kental mirip lem anak SD.
Setelah kujilat 1-2 kali sapuan, segera kuhisap kuat di antara celah
yang terbuka itu dan segera kurasakan beberapa cc cairan kental bening
itu bagaikan benang yang ditarik dari sumur paling dalam dibetot keluar,
akibatnya..
“Mas..,” lengkingan tinggi Lily disertai dengan hentakan berulang kali
dari pinggulnya yang tertarik ke atas dan kemudian berakhir dengan
kekakuan pada tungkai kakinya selama beberapa saat dan berakhir dengan
selesainya hisapanku pada celah vaginanya.
Kubiarkan Lily yang telah mencapai orgasme pertamanya, matanya masih
tertutup rapat tak bergerak menikmati gulungan birahi yang mulai mereda
menyisakan kelelahan yang teramat sangat. Sesaat kemudian belaian jari
lentiknya yang mengusap wajahku menyadarkanku dari lamunanku.
“Thanks yach.., Mas belum yach?” tanyanya sendu merasa bersalah.
Segera kukembangan senyum manisku yang menusuk kalbu, “Enak..,” tanyaku
suatu pertanyaan bodoh yang seharusnya tak perlu kutanyakan.
Anggukan halus dari Lily membenarkan pertanyaanku dan segera kulanjutkan
“Pernah diberikan oleh Mas Indra?” selidikku untuk membandingkan
kemampuanku.
Lily meraih penisku dan mengocoknya perlahan. “Mas Indra tidak pernah
membelai, dia lebih suka tembak langsung dan itu juga nggak lama,
sebentar juga keluar setelah itu tertidur tapi..,” sahutnya memutus di
tengah jalan.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Kalo besar sich lebih besar Mas Indra, jadi tiap kali sakit sesudahnya.
Mungkin kurang foreplay kali yach,” sahutnya untuk memberikan alasan.
“Oh..,” sahutku yang yakin bahwa apa yang kuberikan pasti lebih berkesan dibandingkan dengan Indra suaminya.
Buliran keringat halus di keningnya dan sepanjang lehernya menggodaku
untuk kembali menjilatnya dan kali ini Lily mengelinjang geli. Namun tak
kuperdulikan. Kujilat habis seluruh buliran keringat di dahi dan
sepanjang lehernya menelusuri uratnya kanan dan kiri yang berkilau
tertimpa sinar lampu dan tanpa terasa tubuhku yang besar kembali
menindihnya dan sempat terdiam tatkala kurasakan batanganku terjepit di
atas perutnya. Senyum penuh rasa malu berkembang di bibir Lily tatkala
kedutan penis kuberikan padanya sehingga jelas terasa di atas perutnya.
Pagutan lidahku kembali menghisap bibirnya disertai pilinan jari
jemariku yang lincah bermain di antara kedua putingnya.
“Mas.. jangan,” pekiknya terkejut ketika kucoba untuk memasukkan penisku ke vaginanya.
“Iya dach.. aku bermain di depan aja yach,” janjiku menenangkannya.
“Aku kocok saja yach,” pintanya tergetar menahan birahi yang berusaha
menerjang masuk oleh karena ujung kepala penisku telah berhasil membuka
bibir kemaluannya dan bergesek di muara vaginanya. Aku menggeleng tanda
tak setuju.
“Tapi jangan dimasukkan yach.. aku ngga mau merusak perkawinanku dengan
Mas Indra, aku masih miliknya,” rintihnya tertahan antara sadar dan
nafsu.
“Aku janji dech,” sahutku sekenanya oleh karena gesekan kepala penisku terus memberikan sensasi nikmat yang tiada taranya.
Hisapanku pada kedua putingnya, memaksa puting itu telah membesar
sekitar 2 kali lipat dari semula, antara bengkak dan juga rangsangan
yang ada aku tak mempedulikan itu, namun permainan lidahku di putingnya
membawa kenikmatan tersendiri sehingga tanpa ada penolakan lagi yang
kuterima tahu-tahu seluruh batang penisku telah tertanam di rongga
vaginanya dan ketika Lily tersadar..
“Mas, kok dimasukkan, tadi janjinya nggak masuk,” protesnya dengan nada pasrah.
“Tanggung Li.., aku bener-bener nggak tahan,” kataku seraya mulai memompa.
Busyet bener dach otot-otot vagina Lily, masih sangat kencang walaupun
dia pernah melahirkan, ototnya masih kencang sekali akibatnya tentu
nikmat yang kurasakan ini bak bermain dengan anak ABG saja. Hal sama
juga dirasakan Lily bahwa dinding vaginanya masih ketat sehingga ketika
aku memompa, dia juga mengimbangi dengan goyangan pinggulnya untuk
menekan ke atas, saat kutusukan masuk sedalam-dalamnya, dan itu juga
dikombinasikan dengan kontraksi otot kegelnya yang sangat baik, sehingga
yang kurasakan dan kunikmati adalah empotan vagina yang luar biasa.
Irama genjotanku semakin kuat dan menemukan iramanya dengan goyangan
pinggul Lily, yang secara mencuri juga memandang di dinding kaca
sehingga saat ini jelas nampak tubuh mungilnya timbul tenggelam di kasur
busa mengikuti hentakan tubuhku. Buliran keringat sebesar jagung telah
membasahi tubuhku dan tubuh Lily yang menetes ke kasur busa dan bantal,
seiring dengan dengus nafasku yang terus berpacu ditimpali oleh lenguhan
dan rintihan Lily yang berkejaran.
Semakin lama kurasakan semakin sempit liang vagina Lily, sehingga
gesekan yang terjadi semakin mantap dan ketika kulirik jelas terlihat
lipatan bibir vagina Lily saat ini mengikuti gerakan penisku, yang jelas
menonjolkan urat darahnya berwarna kebiru-biruan keluar masuk laksana
mengurut batang penisku.
Secara refleks sekarang Lily telah mengangkat secara maksimal kedua
tungkainya ke atas untuk memaksimalkan nikmat dunia yang kuberikan dan
kubantu dengan mengangkat kakinya lebih tinggi lagi dan meletakkannya
dipundakku.
“Hhh.. hh..,” desisku seraya menghunjam-hunjamkan penisku ke dalam liang vaginanya sedalam mungkin.
“Aak..,” desisan halusnya juga tak kalah gencarnya mengiringi tingkatan
birahi yang terus mendaki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tak lama
kemudian kurasakan rasa penuh, gatal dan kurasakan adanya desakan dari
dalam yang akan segera memuntahkan lahar sperma.
“Ugh.. ahh..,” pekik Lily tak tertahankan disertai dengan kejangnya ke
dua tungkai kakinya dan tentu saja jepitan vagina itu menjadi maksimal
sehingga akupun tidak tahan.
“Lily.. aku.. sampai,” teriakku tanpa tertahankan disertai dengan hentakan kuat menghantam vaginanya.
Crot.. crot.., bendungan lahar spermaku tak tertahankan lagi menyembur
dengan dahsyatnya menghantam dinding mulut rahim Lily. Luluh lantak
rasanya tulang belulang di tubuh, sehingga tubuh besarku bagaikan tak
bertenaga ambruk menindih tubuh mungil Lily. Campuran keringat kami
berdua di atas permukaan kulit memberikan sensasi tersendiri, sementara
kesadaran kami juga hilang untuk sesaat.
Antara sadar dan tak sadar sempat kulihat bayangan Ibu diuar pintu kamar
sesaat sebelum terdengar pintu yang ditutup, memang tadi pintu itu
tidak tertutup rapat sich.
“Ibu yach?” tanya Lily memandangku terkejut.
Aku tersenyum dan mengecup keningnya dan membiarkan penisku untuk tetap
berada di vagina Lily, sebaliknya Lilypun membiarkan vaginanya untuk
tetap menampung penisku dan kamipun tertidur pulas karena kelelahan.